Deskripsi
SOSIOLOGI HUKUM
(Memotret Realitas, Moralitas, Kualitas Penegakan Hukum)
ISBN: –
Penulis:
Dr. H. Abustan, SH., MH
Editor:
Isma
Komarudin
Penyunting:
Komarudin
Penerbit:
CV. Green Publisher Indonesia
Jumlah Halaman:
111 Halaman
*Sinopsis*
Membuat undang-undang pada dasarnya adalah sebuah tindakan memilih pilihan hukum yang mungkin. Betapa tidak, pembelajar ilmu hukum pasti mudah sekali mafhum bahwa dalam ilmu hukum ada sekian banyak cara pandang dan spektrum teori yang bisa menjadi pilihan bagi pembentuk un- dang-undang, Bahkan, pilihan pada satu spektrum itu pun tidak tunggal. Ada beragam cara pandang dan pemahaman yang berbeda-beda membersamai_pilihan-pilihan yang bisa ada dalam pembentukan UU. Contohnya, cara pandang positivisme. Ia mengalami morfosis. Politik hukumlah yang akan bekerja dalam ruangan pilihan yang tersedia. Jika politik hukum adalah pembahasannya, maka slapakah yang akan be‘kerja dalam membentuk politik hukum itu? 2, rin »sembentukan UU tentu saja melibatkan banyak pihak. Mulai dari pemilik kepentingan pembentukan U, , Pelibatan pandangan teknokrasi , keinginan rakyat banyak yang diatur , hingga penyesualan dengan cita-cita hukum yang digagas. Artinya benar, tak boleh ada aturan UU yang tetiba jatuh dari langit, khususnya RUU KUHP. Namun, pada saat yang sama, pemerintah dan DPR tak boleh memonopoli semua pilihan hukum itu. Itu sebabnya, meminjam istilah Nonet dan Selznick, hukum itu ada kaitannya dengan kondisi masyarakat, termasuk soal rezim dan paradigma kondisi di dalamnya ikut mewarnai. Bahwa hukum yang dibuat haruslah responsif terhadap kebutuhan sosial, yang juga masalah keadilan sosial. Jadi, hukum bukan hanya pada aspek prosedural yang dipikirkan, melainkan juga adil dan mampu mengenali keinginan publik dan komitmen besar terhadap keadilan substantif. Dalam cara pandang yang demokratis, UU akan lahir menjadi lebih demokratis, Namun, jika wataknya otoritarian, akan melahirkan UU yang berwatak otoritarian. Artinya, UU sebagai sebuah pilihan hukum punya paradigma di dalamnya, Dan di situlah mustahilnya menggunakan pendekatan yang meletakkan dekolonisasj° dengan pengertian hanya sebatas melakukan perubahan atau sudah bergeser dari bunyi pasal dan klausul yang ada di dalam sebuah UU kolonial. Atau sepanjang sudah berbeda dari klausul yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena alasan inkonstitusionalitas. Dekolonisasi bukan bermakna perubahan secara waktu dan klausul semata, melainkan haruslah juga dimaknai perubahan paradigma serta watak yang menyelimutinya.
Ulasan
Belum ada ulasan.