Deskripsi
Tidak dapat disangkal bahwa masih banyak pihak-pihak yang menolak ide kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Banyak yang meragukan perlunya ide ini dalam Islam. Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender dibawa masuk secara ilmiah ke dalam tafsir Alquran, melalui Hermeneutika Feminisme banyak pihak yang gusar.
Laki-laki selama berabad-abad menikmati relasi kuasa dengan perempuan dan enggan melepaskan kenikmatan itu. Disisi lain, ada kecurigaan bahwa ideologi gender yang berintikan kebebasan berpikir dan berpendapat, akan menjadikan perempuan mandiri tidak tergantung pada laki-laki. Ketidak tergantungan perempuan pada laki-laki dapat mengarah pada menghalalkan hubungan seksual sejenis (lesbian). Disamping itu, ada pihak yang takut atas kebebasan perempuan. Kalau perempuan memiliki kebebasan, perempuan bisa merusak peran kodratinya seperti mengandung anak yang dapat diserahkan pada tabung-tabung di laboratorium. Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, fungsi kodrati perempuan tersebut dapat diambil alih oleh teknologi.
Juga harus diakui bahwa perempuan yang belum tercerahkan oleh ide kesetaraan dan keadilan gender ikut menolak feminisme. Kebanyakan muslimah, terutama di Indonesia menerima ajaran agama terkait perempuan secara take for granted dan berdiri dipinggir, “menonton” ketika intelektual dan aktivis gender dari berbagai penjuru berjuang untuk memasukkan ide kesetaraan dan keadilan gender dalam hidup keberagamaan. Bila muncul keinginan untuk bicara gender yang dikaitkan dengan Islam, disitu muncul ketakutan karena membicarakan isu-isu gender dalam Islam merupakan hal sensitif dan berbicara di bidang ini perlu legitimasi dan otoritas.
Memahami bahwa penafsiran klasik terhadap Alquran merupakan artikulasi laki-laki, maka dunia agama menjadi dunia patriarki dan bahasa agama adalah bahasa laki-laki dan merupakan pengetahuan non feminis. Artikulasi laki-laki dalam tafsir telah membawa dehumanisasi buat perempuan, seperti perempuan terusir dari ruang publik dan terusir dari pusat kekuasaan dan lainnya. Saat ini, masih banyak terjadi female dehumanization di berbagai belahan dunia, seperti peristiwa penembakan terhadap Malala Yousafzai, gadis usia 14 tahun pada 9 Oktober 2012 di Pakistan. Karena kegigihan Malala untuk memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan di Lembah Swat Pakistan, dia ditembak oleh Taliban, kelompok garis keras Islam di Pakistan yang melarang anak perempuan mendapat pendidikan. Peristiwa Malala adalah salah satu dari ribuan peristiwa yang dialami anak perempuan di dunia dan masih
banyak bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan, seperti penindasan dalam keluarga, penindasan dalam interaksi sosial dan ketergantungan ekonomi Kecendrungan kultur muslim yang menganggap perempuan tidak sederajat dengan laki-laki merupakan suatu pelanggaran terhadap martabat perempuan sebagai manusia dan sebagai khalifah pengemban amanat Allah (khalifah fil ardh). Disamping itu, bila derajat perempuan rendah dari laki-laki, bagaimana etos intelektual Islam dapat berkembang, karena perhatian terhadap suara perempuan tidak jelas dan pasti. Selama ini, perhatian terhadap perempuan kurang sekali, sehingga secara historis suara perempuan dipandang tidak penting.
Menggunakan Hermeneutika Feminisme sebagai metode penafsiran Alquran akan menghasilkan tafsir feminis yang dapat mengubah realitas negatif menjadi positif dan juga membuka selubung makna bahwa Alquran menonjolkan keadilan, cinta pada sesama dan mengafirmasi relasi gender sebagai relasi yang adil. Hermeneutika Feminisme dapat mengangkat persoalan gender yang selama ini terpinggirkan dalam pemikiran Islam. Suara perempuan harus diperdengarkan di ruang publik, nasib perempuan harus diubah. Perempuan harus membuka kesadarannya, melakukan transendensi menjadi manusia bebas, rasional, otonom dan menjadi diri sendiri bukan alat untuk mencapai kebahagian orang lain
Ulasan
Belum ada ulasan.